TRENSEHAT.ID – Salah satu hal yang disebutkan dalam RUU Kesehatan omnibus law adalah pasal mengenai aborsi atau pengguguran kandungan.
Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan, Sundoyo, mengungkapkan bahwa ketentuan ini ada di pasal 42 RUU Kesehatan omnibus law.
Dikutip dari mediaindonesia.com, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Maria Ulfah Anshor, menyampaikan beberapa catatan terkait poin aborsi dalam perubahan RUU Kesehatan omnibus law.
Adanya perubahan terkait pengertian sumber daya manusia yang bisa melakukan aborsi terhadap korban kekerasan seksual, menurut Ulfah perlu dikritisi.
Tenaga kesehatan yang semula boleh menangani aborsi sangat terbatas, atau hanya tenaga kesehatan yang memiliki sertifikat keterampilan yang ditetapkan oleh Menteri, kini definisinya diperluas meliputi dokter, bidan, paramedis, atau apoteker.
Ulfah menilai, poin tersebut sangat mengkhawatirkan dan berisiko mengancam nyawa korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan.
“Saya secara pribadi, kalau betul tenaga kesehatan yang akan melakukan aborsi itu diperluas dengan bidan, paramedis, apoteker, saya kok rasanya terlalu riskan. Bahkan mungkin kalau boleh, saya rasanya lebih cenderung tidak setuju,” kata Ulfah kepada Media Indonesia, Rabu (24/5).
“Yang boleh menangani aborsi harusnya dokter yang terlatih. Kalau dokter kan dari sisi keamanan, penanganannya, lebih yakin, lebih bisa dipastikan karena dia punya keahlian. Tetapi kalau bidan, paramedis, itu agak riskan. Apalagi apoteker, kok bisa melakukan mengaborsi? Saya kira itu yang perlu dikritisi,” kata perempuan pendiri Yayasan Pendidikan dan Pesantren Terpadu An-Nahla Bogor ini.
“Meski ini adalah ruang untuk perlindungan dan pelayanan kepada korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan, tetapi harus ada batasan yang bisa memastikan dan menjamin korban tetap ada jaminan keselamatan, jaminan keamanan. Tidak kemudian diperluas, dipermudah tanpa pertimbangan seperti itu,” ujarnya.
Selain permasalahan sumber daya manusia yang boleh menyelenggarakan kegiatan aborsi, kritik juga disampaikan seputar perubahan usia kehamilan.
Untuk diketahui, RUU Kesehatan omnibus law juga membahas perubahan usia kehamilan yang dibolehkan aborsi, dari semula enam minggu menjadi 14 minggu.
Sekjen Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), dr Budi Wiweko, SpOG(K)-FER, MPH, menilai peningkatan perubahan usia aborsi ini membahayakan nyawa pasien. Pasalnya, di usia 14 minggu kehamilan disebut sudah cukup besar.
“Karena kalau sudah 14 minggu, kehamilan sudah besar, dan tindakan aborsi yang aman itu amat sangat diragukan, karena tentu semakin besar usia kehamilan tindakan aborsi provokatus tentu akan semakin berbahaya meningkatkan risiko terutama keamanan bagi pasien,” tutur dr Budi dalam Public Hearing Kemenkes RI, Kamis (30/3).
Tidak tuntasnya kontroversi terkait RUU Kesehatan omnibus law ini, menurut Ketua MHKI, dr. Mahesa Paranadipa, M.HKes., disebabkan karena penyusunannya yang terlalu terburu-buru.
“Seharusnya pemerintah mau mendengarkan aspirasi semua pihak agar Undang-Undang yang dihasilkan dapat diterima dan memberikan kebaikan kepada semua rakyat,” kata dr. Mahesa menanggapi kisruh RUU Kesehatan omnibus law yang terjadi. (*)