TRENSEHAT.ID – Palu sidang RUU Kesehatan omnibus law segera diayun, para dokter dan tenaga kesehatan tampak semakin resah.
Sementara, masyarakat awam cukup “adem” menyikapi pembahasan RUU Kesehatan omnibus law. Sedikit berbeda dengan sikap terhadap UU Ciptaker.
Menurut Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Apt. Noffendri Rustam, S.Si, sebenarnya cukup banyak klausul dalam RUU Kesehatan omnibus law yang berdampak langsung terhadap masyarakat. Namun sepertinya masyarakat kurang memahami.
Meski tidak berarti ikut menyarankan konsumsi tembakau, Noffendri mencontohkan klausul RUU Kesehatan omnibus law yang mengategorikan nikotin ke dalam kelas narkoba.
“Nikotin ini mudah dikeluarkan dari tubuh melalui urin dan keringat. Ini berbeda dengan sifat narkoba,” kata Noffendri.
Masih menurut Noffendri, hal ini sangat berpotensi mematikan para petani tembakau. Efek dominonya akan terasa pada perekonomian rakyat.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), dr. Mahesa Paranadipa Maikel, MH. Kes, bahkan melihat dari perspektif lain.
“Yang paling kita takutkan sebenarnya jika pengaturan narkotika sebebas pengaturan tembakau, maka peredarannya (narkoba) akan lebih bebas lagi di negara kita,” ungkap dr. Mahesa.
Hal senada diungkap komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfah Anshor. Lewat laman mediaindonesia.com, dia menyoroti soal regulasi aborsi dalam RUU Kesehatan omnibus law.
“Kalau betul tenaga kesehatan yang akan melakukan aborsi itu diperluas dengan bidan, paramedis, apoteker, kok rasanya terlalu riskan. Bahkan mungkin kalau boleh, saya rasanya lebih cenderung tidak setuju,” papar Ulfah.
Bisa dibayangkan, jika semula aborsi hanya bisa dilakukan oleh dokter ahli secara terbatas dan memiliki sertifikasi serta keterampilan khsusus, kini bisa dilakukan juga oleh dokter umum, bidan, apoteker, bahkan perawat.
Selain berisko tinggi, Ulfah menganggap pasal 42 RUU Kesehatan omnibus law ini semakin mendorong penyalahtempatan praktik seksual serta turunannya. Bahkan juga membuka ruang bagi kekerasan seksual pada wanita.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DR. dr. Moh. Adib Khumaidi, Sp.OT ikut berkomentar terkait RUU Kesehatan omnibus law terhadap kemungkinan menurunnya mutu layanan dokter. Menurut Adib, organisasi kedokteran tidak lagi bisa mengontrol kompetensi dokter yang berpraktik.
Hal ini didasari pada kebijakan RUU yang mencabut kewenangan organisasi profesi kesehatan dalam memberikan izin praktik. Menurut Adib, saat ini tenaga kesehatan dan organisasi profesinya sedang berseberangan dengan pemerintah. Khususnya dalam pembahasan RUU Kesehatan.
Bahkan secara tegas Adib juga menyatakan peringatannya, “Ini akan membahayakan keselamatan rakyat Indonesia.”
Konon, belum kunjung pahamnya masyarakat bukan semata-mata disebabkan daya serap informasi. Ketersebaran berita secara luas dan merata juga menjadi salah satu biang keladi. Nyatanya, tidak banyak media massa yang menyiarkan tarik ulur RUU Kesehatan omnibus law ini.
Selamet Riyadi (50) warga Surabaya mengaku tidak paham sama sekali perihal RUU Kesehatan omnibus law ini. “Dengar saja (RUU Kesehatan) belum pernah, apalagi mengerti. Rakyat kecil tau apalah soal begini,” komentarnya.
Senada dengan Selamet Riyadi, Nedy Irfansyah (35) warga Cibubur Jakarta mengungkap hal sama. “Nggak paham pak. Pernah dengar katanya (RUU Kesehatan) merugikan rakyat, tapi nggak tau gimana merugikannya,” ungkap Nedy.
Namun begitu, bukan berarti seluruh klausul dalam RUU Kesehatan omnibus law merugikan rakyat. Sejumlah klausul lain diakui mengarah pada upaya peningkatan layanan kesehatan di era global.
Klausul lainnya ditujukan bagi terciptanya kompetisi antardokter dalam hal mutu dan kompetensi. Dengan masuknya tenaga kesehatan dari luar negeri, dianggap mampu mendorong dokter Indonesia untuk bersaing.
Sayangnya, hal ini belum dijelaskan secara komprehensif, baik kepada dokter dan tenaga kesehatan, maupun kepada masyarakat Indonesia. Wajar jika para tenaga kesehatan yang lebih mengerti menggelar aksi unjuk rasa beberapa waktu lalu.
Pasca aksi unjuk rasa, panitia kerja Komisi Sembilan DPR RI dan pemerintah dikabarkan belum memberikan respons positif. Setidaknya membuka ruang dialog sebagaimana diharapkan Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Dr. Emi Nurjasmi, M.Kes. “Mohon kita dibukakan pintu dialog,” harapnya.
Tidak kunjung terbukanya pintu ruang dialog dan komunikasi ideal antara organisasi profesi kesehatan dan pemerintah terkait RUU Kesehatan omnibus law, bisa memunculkan reaksi lanjutan? Entahlah. (*)