TRENSEHAT.ID – RUU Kesehatan omnibus law ternyata menuai masalah baru.
Pasalnya, RUU Kesehatan omnibus law terus mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan.
Yang terbaru, selain dari 5 organisasi profesi kesehatan, kini giliran para petani dan pengusaha tembakau di seluruh wilayah di Indonesia yang menolak RUU Kesehatan omnibus law.
Penolakan kali ini datang dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia, Koalisi Tembakau, GAPRINDO, APVI, APNNINDO, dan beberapa akademisi menyuarakan penolakan.
Sekedar diketahui, draft RUU Kesehatan terkait zat adiktif itu tercantum dalam Pasal 154 yang salah satu isinya berbunyi: Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: a. narkotika, b. psikotropika, c. minuman beralkohol, d. hasil tembakau dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Pimpinan Koalisi Tembakau, Bambang Elf, menyatakan penggabungan tembakau sebagai bagian dari zat adiktif dikhawatirkan akan menyebabkan munculnya aturan yang akan mengekang tembakau nantinya, lantaran posisinya disetarakan dengan Narkoba.
“Apalagi industri tembakau merupakan industri yang memberikan dampak besar bagi negara,” kata Bambang dalam Focus Group Discussion (FGD) RUU Kesehatan Omnibus Law di Jakarta, Kamis (25/5).
Menurut Bambang, tembakau telah sejak lama jadi penopang kehidupan masyarakat Indonesia.
Dia menyebut tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian rumah tangga, namun juga komunitas, masyarakat, daerah, dan negara.
Senada dengan itu, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi, menuturkan pengelompokkan tersebut berpotensi menimbulkan kesalahpahaman publik yang berimbas pada terganggunya industri tembakau.
“Dikhawatirkan pengelompokkan seperti ini mengganggu kegiatan usaha sepanjang supply chain, baik hulu maupun hilir, karena dapat menimbulkan persepsi yang negatif,” tutur Benny, seperti dikutip dari harianjogja.com.
Menurutnya, dengan pengelompokkan ini, masyarakat dapat mengartikan produk industri hasil tembakau sebagai produk yang dilarang sebagaimana pemerintah melarang peredaran narkotika, juga sebaliknya.
Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia, dr. Mahesa Paranadipa, M.HKes., mengungkapkan bahwa pengolompokan ini memiliki implikasi serius.
“Ada dua kemungkinan. Yang pertama adalah regulasi tembakau akan menjadi seperti regulasi narkotika, dan ini yang ditakutkan oleh para petani dan pengusaha tembakau,” kata dr. Mahesa.
Sementara di sisi lain dr. Mahesa melihat hal yang tak kalah mengkhawatirkan.
Kata dr. Mahesa, “Tapi yang paling kita takutkan sebenarnya adalah kemungkinan kedua, yakni jika pengaturan narkotika akan sebebas pengaturan tembakau, sehingga peredarannya akan lebih bebas lagi di negara kita.”
Bagaimana pendapat Anda tentang RUU Kesehatan omnibus law ? (*)