Ikatan Dokter Indonesia (IDI), rumah besar para dokter Indonesia dan pernah menjadi satu-satunya organisasi profesi dokter di Indonesia memang selalu menarik untuk diperbincangkan dan dipertimbangkan.
Saking kuatnya posisi IDI di masa lalu, pemerintah bahkan merasa perlu untuk mengubah aturan-aturan dasar agar kekuasaan yang dimiliki IDI dapat dialihkan dan dikurangi.
IDI saat ini tengah dalam tahap penyesuaian dengan positioning barunya sebagai organisasi profesi dokter yang tidak lagi menjadi pilihan satu-satunya, dengan fungsi dan wewenang yang tak lagi sebesar dulu, dengan opini publik yang kadang tak berpihak pada organisasi profesi yang selalu kita cintai ini.
Barangkali, rasa cinta itu juga lah yang mendorong salah seorang mantan ketua umum PB IDI menulis catatan akhir tahun bertajuk “Catatan Akhir Tahun 2024: Mempertimbangkan Kepemimpinan Presidium sebagai Kepemimpinan Kolektif Kolegial Organisasi IDI” di salah satu portal berita daring.
Secara ringkas, tulisan beliau yang panjang lebar itu terdiri atas tiga bagian. Pertama, beliau menjelaskan tentang kepemimpinan kolektif – kolegial lengkap dengan ciri dan kelebihan model kepemimpinan ini.
Di bagian kedua, beliau memberikan argumen tentang bagaimana model kepemimpinan IDI saat ini telah meninggalkan model kepemimpinan kolektif-kolegial.
Ketiga, beliau menawarkan pola kepemimpinan presidium untuk IDI yang dianggap lebih mewakili semangat kepemimpinan kolektif-kolegial.
Sebagai kader yang dulu banyak belajar dan berdiskusi dengan beliau di kampus maupun di organisasi, saya mencoba mengikuti ajaran beliau untuk menjawab tulisan dengan tulisan pula.
Berikut beberapa highlight poin-poin yang dikemukakan dalam tulisan beliau.
Kepemimpinan Kolektif Kolegial
Berdasarkan jurnal Revitalisasi Kepemimpinan Kolektif-Kolegial dalam Membangun Efektifitas Komunikasi Organisasi Pesantren, Pramitha, D. (2020), kepemimpinan kolektif kolegial adalah model kepemimpinan yang menekankan pentingnya kerja sama dan keterlibatan semua anggota tim dalam pengambilan keputusan.
Sedangkan dikutip dari Wikipedia, Kolektif Kolegial adalah istilah umum yang merujuk kepada sistem kepemimpinan yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam mengeluarkan keputusan atau kebijakan melalui mekanisme yang di tempuh, musyawarah untuk mencapai mufakat atau pemungutan suara, dengan mengedepankan semangat kebersamaan.
Kata kunci dari kepemimpinan kolektif-kolegial adalah kerja sama, keterlibatan, musyawarah untuk mufakat, dan semangat kebersamaan. Pertanyaannya adalah, apakah model kepemimpinan kolektif kolegial ini hanya berlaku pada satu pola kepemimpinan saja, atau model ini dapat diterapkan pada beberapa pola kepemimpinan?
Saya sendiri lahir dan berkembang dari organisasi Himpunan Mahasiswa Islam dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini mengklaim pola kepemimpinan mereka sebagai model kepemimpinan kolektif-kolegial, dipimpin oleh satu orang ketua umum yang dibantu oleh beberapa ketua bidang dan perangkat organisasi lainnya.
Ketua Umum mereka sama-sama dipilih dari forum Kongres atau Muktamar yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi, tanpa ada ketua purna dan ketua terpilih. Lalu bagaimana mereka mengaku sebagai organisasi dengan kepemimpinan kolektif kolegial?
Ternyata, (dan saya sepakat dengan hal ini) kepemimpinan kolektif kolegial bukanlah digambarkan oleh pola kepemimpinan yang diterapkan dalam organisasi, tapi oleh semangatnya yang melibatkan semua pihak dalam pengambilan keputusan, kebersamaan yang dijalin sehingga suara setiap orang adalah setara dalam forum pengambilan keputusan, serta semangat untuk selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat.
Di IDI, semangat itu tercermin jelas pada pelaksanaan Muktamar sebagai forum kekuasaan tertinggi organisasi (pasal 13 AD-ART). Forum Rapat Pleno, Rapat Harian, dan mekanisme pengambilan keputusan yang selalu mengedepankan musyawarah mufakat (pasal 17 AD-ART) juga menggambarkan dengan jelas semangat ini.
Jadi, jika dikatakan bahwa kepemimpinan organisasi IDI bukanlah kepemimpinan kolektif-kolegial, saya tidak sepakat. Tapi apakah sistem kolektif kolegial ini perlu diperkuat di Muktamar mendatang? Saya sangat sepakat.
Presidium: Solusi atau Masalah?
Salah satu poin penting yang dikemukakan oleh beliau dalam tulisannya adalah pola kepemimpinan presidium sebagai jawaban bagi organisasi IDI hari ini. Pola kepemimpinan ini, menurut beliau, adalah representasi terbaik dari semangat kolektif kolegial yang dianggap telah ditinggalkan.
Kita telah menjawab bahwa dengan pola kepemimpinan saat ini pun, semangat kolektif kolegial tetap bisa dipertahankan. Pertanyaannya, apakah pola kepemimpinan presidium dapat berjalan tanpa dijiwai semangat kolektif kolegial ?
Mari kita berandai-andai; sebuah organisasi profesi dokter bernama Perhimpunan Dokter Indonesia (PDI). Organisasi ini memilih pola kepemimpinan presidium untuk menggantikan pola kepemimpinan presidensial yang dilakukan sebelumnya.
Meskipun keputusan organisasi seharusnya melibatkan 5 orang anggota presidium, pada praktiknya keputusan organisasi dapat diambil tanpa melibatkan satu atau dua orang anggota presidium (dengan mengadakan pengambilan keputusan di waktu anggota presidium lain tidak dapat hadir, misalnya).
Organisasi PDI ini juga tidak dapat sepenuhnya mengejawantahkan semangat kolektif kolegial karena adanya satu figur yang lebih dominan dan dapat mendominasi anggota presidium lainnya.
Di lain waktu, saat terjadi konflik internal di antara anggota presidium, semangat kolektif kolegial tidak mungkin bisa menjiwai organisasi, karena konflik hanya terjadi antara sekelompok kecil orang sehingga sangat rentan untuk meruncing dan memecah belah organisasi, jadilah Muktamar dipercepat untuk menyelesaikan masalah.
Jadi, apakah kepemimpinan presidium selalu menggambarkan semangat kepemimpinan kolektif kolegial? Ternyata tidak. Lalu mengapa kepemimpinan IDI harus beralih menjadi kepemimpinan Presidium?
Tantangan Kolektif-Kolegialitas IDI
Ada beberapa masalah yang di-address dalam bagian akhir tulisan beliau yang dianggap sebagai pertimbangan penting untuk mengubah pola kepemimpinan IDI.
Pertama, kondisi eksternal yang dianggap tidak menentu dan represif. Pola kepemimpinan presidensial dianggap rentan karena jika ketua umum sudah “ditundukkan” maka keseluruhan organisasi juga dianggap telah tunduk.
Masalahnya, kondisi ini dapat terjadi di semua pola kepemimpinan, menilik dari contoh kasus PDI yang sudah diandaikan di atas. Kepemimpinan presidensial malah bisa jadi lebih resilien pada kondisi represif jika sistem pengambilan keputusan dipastikan tidak bertumpu pada ketua umum semata, tapi harus melalui forum Rapat Pleno atau Rapat Harian.
Hal yang penting justru bukan pada pola kepemimpinannya, tapi semangat kebersamaan yang harus dipupuk sehingga organisasi ini dapat berjalan dengan solid dan bersatu menghadapi semua tantangan secara bersama.
Kedua, fakta bahwa tidak ada satu pun calon ketua umum PB IDI yang mendapatkan lebih dari 50% suara pada Muktamar lalu di Aceh.
Menurut saya, fakta ini tidak relevan. Tidak adanya calon yang mendapatkan lebih dari 50% suara di Muktamar adalah soal mekanisme pengambilan keputusan, sama sekali tidak merepresentasikan kekuasaan yang dimiliki oleh Ketua Umum yang telah terpilih. Sesuai AD-ART, keputusan Muktamar adalah keputusan tertinggi organisasi, adapun soal mekanisme adalah soal pilihan peserta Muktamar saat itu.
Ketiga, anggapan bahwa lima orang calon Ketua Umum yang berkontestasi pada Muktamar lalu dapat langsung ditetapkan sebagai anggota presidium.
Menurut saya, hal ini malah lebih tidak relevan lagi. Para calon Ketua Umum saat itu adalah yang dianggap representatif pada saat itu, bukan saat ini. Sangat tidak masuk akal untuk memaksakan pilihan orang-orang tiga tahun lalu pada orang-orang saat ini. Dengan segala hormat, saya menolak dengan tegas pilihan itu.
Catatan Akhir
Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan kembali beberapa hal yang telah dikemukakan di atas dengan lebih ringkas.
Pertama, kepemimpinan kolektif kolegial adalah semangat kebersamaan dan kesejawatan, untuk tetap bersama dan bersatu, mengambil keputusan secara bersama dan membawa organisasi secara solid. Kolektif kolegial tidaklah bergantung pada pola kepemimpinan yang dipilih, tapi pada semangat dan kepatuhan pada tata laksana organisasi yang telah disepakati bersama.
Kedua, kepemimpinan presidium di masa sekarang ini, menurut saya, malah akan membawa IDI pada kelambatan, keterpecahan, dan bahkan kehilangan relevansi. Masa ini adalah masa di mana IDI harus menjawab tantangan zaman secara cepat dan solid, dan kepemimpinan presidium bukanlah jawaban.
Ketiga, Ketua Umum PB IDI periode 2024-2027 sudah ditetapkan dalam Muktamar lalu di Aceh. Mengubah keputusan Muktamar bukanlah keputusan mudah, apalagi yang berkaitan dengan kepentingan politik.
Hal ini akan menjadi preseden buruk bagi organisasi, dan bukan tidak mungkin akan terulang dan terulang menjadi budaya buruk organisasi. Kita yang ada di zaman ini bertanggungjawab untuk meninggalkan teladan dan preseden yang baik agar dapat menjadi contoh bagi generasi berikutnya.
Semoga Tuhan senantiasa memberi perlindungan untuk kita semua dan untuk organisasi kita tercinta, memberi kita petunjuk untuk melihat dan menentukan keputusan-keputusan yang baik bagi kita, bagi organisasi, dan bagi masa depan bangsa ini.
Billahittaufiq wal hidayah, wallahu a’lam bishshawab.
Dr. Rosita Rivai, MM, FICEP, Ketua Bidang Kemitraan dan Kerjasama PB IDI 2022-2024