Penguatan Kompetensi Dokter Umum, Task-shifting atau Task-sharing?

Hari Bakti Dokter Indonesia 2
Hari Bakti Dokter Indonesia
dr. Rosita Rivai, MM., FICEP, Sekretaris MPPK PB IDI

Tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional setiap tahunnya. Bagi para dokter, hari ini juga diperingati sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI) sejak tahun 2008.

HBDI bertujuan untuk menghormati dan mengenang jasa para dokter yang telah ikut berkontribusi dalam menggerakkan kebangkitan nasional dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Di hari spesial ini, kita para dokter diingatkan untuk merenungi sejauh mana kita telah memberikan bakti kita untuk Indonesia; meneladani jejak sejarah para senior dan guru kita, bercermin pada hati nurani dan mempertanyakan kembali peran kesejarahan kita dalam membangun bangsa Indonesia hari ini.

Apakah kita sudah cukup berbuat untuk keselamatan dan kesehatan para pasien kita? Apakah kita sudah cukup memiliki kompetensi untuk menjamin layanan kesehatan berkualitas untuk masyarakat?

Dalam beberapa waktu terakhir, Menteri Kesehatan kita dan jajarannya sedang menyusun kebijakan kesehatan yang menuai kontroversi; menambahkan kompetensi tertentu bagi dokter umum agar bisa memberikan layanan yang selama ini diberikan oleh dokter spesialis.

Yang paling banyak mengemuka tentu adalah kompetensi untuk melakukan operasi Sectio Caesarea atau operasi sesar, yaitu prosedur pembedahan yang dilakukan untuk melahirkan bayi melalui sayatan pada perut dan rahim ibu.

Kita semua mafhum bahwa dalam konteks sistem kesehatan Indonesia yang menghadapi tantangan distribusi tenaga medis tidak merata, peran dokter umum menjadi sangat krusial.

Terutama di daerah terpencil dan perbatasan, dokter umum sering kali menjadi garda terdepan dalam menangani beragam masalah kesehatan, termasuk kasus-kasus yang secara ideal ditangani oleh dokter spesialis.

Apa yang ditawarkan oleh Menteri Kesehatan adalah bentuk Task Shifting.

Task shifting adalah pemindahan tanggung jawab dan kompetensi klinis tertentu dari tenaga kesehatan dengan pelatihan lebih tinggi kepada tenaga kesehatan lain yang lebih dasar, misalnya dari dokter spesialis ke dokter umum.

Dalam konteks ekstrem, ini dapat mencakup pemberian kewenangan dokter umum untuk melakukan tindakan seperti operasi seksio sesarea (SC) atau prosedur medis invasif lainnya.

Apakah Ini Jawaban Satu-satunya?

Tentu saja ada pilihan kebijakan lain yang menurut saya lebih realistis; Task-sharing.

Task sharing adalah pembagian peran dan tanggung jawab antar tenaga kesehatan secara kolaboratif, di mana masing-masing profesi tetap bekerja dalam batas kompetensi yang diakui secara legal dan profesional.

Pendekatan ini mendorong tim kerja lintas profesi yang saling mendukung tanpa melewati batas kewenangan.

Task sharing lebih realistis untuk dilakukan terutama karena keamanan pasien yang lebih terjaga. Task sharing menjaga agar tindakan medis kompleks tetap dilakukan oleh tenaga yang memiliki pelatihan dan kompetensi sesuai.

Dokter umum dapat menangani bagian-bagian seperti skrining awal, stabilisasi pasien, dan edukasi, sedangkan spesialis tetap menangani prosedur tinggi seperti SC atau operasi lainnya.

Kebijakan task sharing juga akan menjamin legalitas dan etika kedokteran terpenuhi.

Dalam sistem hukum dan etika profesi di Indonesia, setiap tenaga medis memiliki batas kewenangan yang jelas.

Task shifting berpotensi menyebabkan pelanggaran etika dan hukum apabila dokter umum melakukan tindakan di luar kompetensinya.

Task sharing menghindari hal ini karena tidak mengubah kewenangan, hanya membagi peran sesuai fungsi tim.

Dari segi fleksibilitas dan implementasi, task sharing juga lebih efektif. Misalnya dalam program PONED dan PONEK, manajemen TB dan HIV, serta program kunjungan dokter spesialis ke daerah yang belum memiliki spesialis tetap.

Tentu saja, dalam situasi bencana alam di daerah tanpa akses ke dokter spesialis, seorang dokter umum yang memiliki pengalaman bedah darurat dan pelatihan khusus mungkin dapat melakukan tindakan menyelamatkan nyawa – namun ini tetap berada di zona risiko hukum dan etik, apalagi di era media sosial sekarang ini.

Risiko terjadinya komplikasi dan adanya implikasi asuransi juga membayangi dokter umum yang melakukan tindakan dengan kompetensi di atas kompetensi dokter umum.

Hemat saya, membangun sistem Task Sharing adalah opsi yang lebih realistis.

Dalam kasus operasi SC, dokter umum bisa menangani triase obstetri, stabilisasi pasien, dan rujukan aktif, sementara SC tetap dilakukan oleh Sp.OG.

Pemerintah daerah juga bisa membuat tim SC Mobile yang dapat sewaktu-waktu diturunkan jika ada keadaan emergensi.

Dalam hal ini. dokter umum menyiapkan pasien dan fasilitas, tim spesialis datang, kemudia tindakan SC dilakukan.

Penguatan kompetensi dokter umum dalam hal ini harus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dokter umum dalam deteksi risiko persalinan, stabilisasi kegawatdaruratan obstetri, dan kolaborasi efektif dalam sistem rujukan SC.

Singkatnya, task sharing adalah pendekatan realistis dan berkelanjutan untuk memperkuat layanan kesehatan primer, tanpa mengorbankan keselamatan pasien atau melewati batas profesi.

Sebaliknya, task shifting untuk tindakan kompleks seperti SC tidak realistis di kebanyakan sistem, karena berisiko tinggi dan tidak sesuai kompetensi dokter umum.

Selamat Hari Bakti Dokter Indonesia!

dr. Rosita Rivai, MM., FICEP
Sekretaris Umum MPPK PB IDI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *