
Sebelum kita memakai jas putih pertama kali. Sebelum menyentuh stetoskop dengan otoritas penuh. Sebelum tanda tangan kontrak kerja di rumah sakit, kampus, perusahan farmasi, atau apa saja. Bahkan sebelum menyandang gelar “dokter” di depan nama — kita pernah berdiri, mengangkat tangan, dan bersumpah.
Sumpah dokter bukan sekadar ritus akademik menjelang pelantikan. Ia adalah kontrak pertama kita sebagai insan medis—yang disaksikan tak hanya oleh manusia, tapi oleh Allah.
Sebuah ikrar yang melibatkan nurani, ilmu, dan komitmen spiritual. Sebuah sumpah yang terlalu agung jika hanya dijadikan latar belakang foto prosesi kelulusan.
Apa yang sering kita lupakan adalah: sebelum kita menjadi klinisi yang sibuk, dosen yang mengejar publikasi, aktivis yang turun ke jalan, atau politisi yang membangun sistem — kita adalah seseorang yang pernah mengucap janji.
Janji untuk membela yang lemah, menegakkan martabat kemanusiaan, dan tidak tunduk pada tekanan apa pun, kecuali pada nilai kebenaran dan kasih sayang.
Itulah kontrak politik kita yang pertama—dan paling murni. Bukan dalam makna sempit partai atau kekuasaan, tapi dalam arti dasar: sebuah perjanjian dengan Sang Pencipta, yang menuntut keberpihakan kita pada kehidupan dan keadilan.
Sumpah itu adalah fondasi moral, arah kompas, dan titik mula perjalanan profesi.
Lalu, bagaimana mungkin kita menganggap profesi ini “netral” dari urusan kekuasaan, kalau bahkan awalnya saja kita sudah mengucap sumpah di hadapan kekuasaan tertinggi—Allah?
Sayangnya, semakin jauh kita melangkah, semakin banyak kita lupa. Tertutup rutinitas. Tergerus ambisi. Terkalahkan oleh sistem.
Kita menyembuhkan, tapi tak lagi merenungi makna kesembuhan. Kita mengajar, tapi lupa bahwa ilmu adalah amanah. Kita masuk ruang kebijakan, tapi tak lagi membawa suara pasien yang tertindas.
Padahal sumpah itu seharusnya terus bergema. Ia bukan hanya untuk pelantikan, tapi untuk mengingatkan kita setiap kali kita menulis resep, menolak suap, atau menyuarakan kebenaran.
Sumpah itu adalah jangkar etis, yang menjaga kita tetap waras dalam dunia yang kerap menormalisasi kompromi moral.
Tulisan ini bukan seruan untuk menambah sumpah baru. Tapi untuk mengingatkan: kita sudah pernah bersumpah. Kita tak perlu menunggu tragedi atau krisis untuk menghidupkan kembali kesadaran itu.
Cukuplah dengan kembali membaca sumpah itu — perlahan, dengan hati yang jernih. Maka kita akan tahu bahwa profesi ini terlalu mulia jika hanya dijalani demi gaji, jabatan, atau gengsi.
Seorang guru saya pernah berkata: “Sumpah itu bukan beban, tapi penunjuk jalan. Ia bukan tali pengikat, tapi cahaya penuntun.”
Dan hari ini, ketika banyak dokter merasa tersesat dalam labirin birokrasi, terjebak dalam sistem yang tak manusiawi, atau kehilangan makna dalam pekerjaan — mungkin sudah saatnya kita kembali ke titik mula.
Membaca ulang sumpah itu. Meresapinya bukan sebagai teks mati, tapi sebagai nyawa dari segala tindakan kita sebagai dokter.
Karena siapa pun kita hari ini—dokter umum, spesialis, akademisi, direktur, kepala dinas, tentara, polisi (ingat, sebelum sumpahmu sebagai tentara atau polisi, sumpah dokter adalah kontrak politik pertamamu), anggota dewan, atau aktivis di garis depan—kita adalah orang yang pernah bersumpah.
Maka jangan biarkan sumpah itu jadi formalitas yang dilupakan. Jangan biarkan suara nurani kita digantikan oleh kalkulasi strategi.
Dan jangan biarkan profesi ini kehilangan jiwanya karena kita terlalu sibuk membangun karier, tapi lupa membangun keberanian untuk hidup sesuai janji.
Sebab pada akhirnya, ketika semua gelar dan posisi lenyap, yang akan Allah tanyakan bukan seberapa tinggi jabatan kita—tapi seberapa jujur kita pada sumpah pertama itu.
Apa pun jabatanmu hari ini—direktur, anggota parlemen, pejabat kementerian, dosen, kepala dinas, peneliti, bahkan konsultan perusahaan farmasi—kau tetap seorang dokter.
Bahkan jika gelarmu hanya disematkan di kartu nama, atau kau tak lagi menyentuh stetoskop, kau tetap seorang yang pernah berdiri dan bersumpah.
Sumpah itu tak luruh hanya karena kau tak lagi praktik. Ia melekat di hatimu, bukan di status Ijazahmu, STR dan SERKOMmu.
Ia bukan sekadar ritual pelantikan, tapi ikrar seumur hidup di hadapan Allah, bahwa hidupmu akan diabdikan untuk menjunjung martabat manusia, melindungi kehidupan, dan tidak tunduk pada tekanan apa pun.
Kita boleh berbeda pilihan hidup, urusan dapur, atau ambisi karier. Kita bisa duduk di kubu politik yang berseberangan, punya pendapat berbeda tentang sistem pendidikan atau kebijakan kesehatan.
Namun, kita diikat oleh satu kontrak yang sama—kontrak politik yang paling awal dan paling dalam: bahwa kita menyerahkan hidup ini untuk kepentingan manusia.
Bukan untuk menindas lewat birokrasi. Bukan untuk menjual etika pada tender dan kekuasaan. Kita semua, tanpa kecuali, sudah menyatakan kesediaan untuk berjuang, bukan berdiam.
Untuk membela yang sakit, bukan sekadar mengatur mereka dari balik meja.
Jangan bilang kita lupa. Kita hanya terlalu lama menenggelamkan suara itu demi kenyamanan. Hari ini, izinkan aku mengingatkanmu: bahwa sumpah itu tak pernah hilang.
Ia menunggu untuk ditepati. Ia mengintai setiap keputusan yang kau ambil—di ruang jaga, di ruang kuliah, di ruang rapat, bahkan di ruang sunyi tempat kau berbincang dengan nuranimu sendiri.
Dan jika kau mengkhianatinya hari ini, maka yang kau hancurkan bukan hanya kepercayaan publik, bukan hanya profesimu, tapi bagian terdalam dari dirimu sendiri — sebagai manusia yang pernah bersumpah untuk hidup demi kemanusiaan.
Kita bukan sekadar lulusan pendidikan tinggi. Kita ini orang-orang yang pernah bersumpah. Dan sumpah itu bukan janji manis di momen pelantikan—melainkan kontrak politik, perjanjian mutlak yang mengikat jiwa kita kepada kemanusiaan bangsa ini.
Ia tak memilih waktu, tak menyesuaikan suasana.
Ia berlaku saat kita berdiri maupun saat kita duduk; saat kita disanjung maupun saat kita dilupakan. Ia tak pernah menyesuaikan diri dengan kenyamanan pribadi.
Sumpah itu mengikat kita — dalam sunyi, dalam riuh, dalam runtuhnya sistem sekalipun. Sistem boleh runtuh, tapi sumpah itu harus tegak dan diteggakkan.
Karena itu, sejauh semua ini untuk pelayanan terbaik bagi rakyat, lepaskan ego kita. Tak ada yang lebih hina dari ilmu yang digunakan untuk membenarkan kelengahan.
Tak ada yang lebih kejam dari kecerdasan yang dipakai untuk merancang alasan demi membungkam rasa bersalah.
Dan tak ada yang lebih menyayat dari profesi mulia yang dijadikan tameng untuk membenarkan sikap diam saat sistem mencederai orang-orang yang seharusnya kita lindungi.
Ilmu seharusnya membangkitkan keberanian, bukan membius hati. Jika pengetahuan kita hanya membuat kita makin pandai berdalih, makin lihai membungkus ketakutan dengan logika, maka kita bukan sedang menjaga profesi — kita sedang mengkhianatinya secara terang-terangan.
Hari ini, marilah kita saling mengingatkan—not as a call to war, but a call to return. Kembali ke titik mula. Kembali ke sumpah yang kita ucapkan bersama.
Kita mungkin telah menempuh jalan yang berbeda, mengemban peran yang beragam, dan memanggul beban masing-masing.
Di bawah segala perbedaan itu, kita memiliki satu simpul yang tak pernah terputus: kita pernah berjanji. Dan janji itu tak bisa ditunaikan sendirian.
Kini saatnya kita berhenti saling curiga, saling diam, atau saling menjauh.
Kita harus bersatu, karena yang sedang kita hadapi bukan sekadar perdebatan profesi—melainkan ujian martabat kolektif. (*)
Taufiq Fredrik Pasiak
Dekan FK UPN Veteran Jakarta, Ketua AIPKI Wilayah-2